Grace

The light in the air grows luminous in the moments before twilight. “Grace” is published by Kodiak.

Smartphone

独家优惠奖金 100% 高达 1 BTC + 180 免费旋转




Masih ada?

Matahari seakan malu-malu untuk menunjukkan jatinya pada hari ini, seperti mengetahui perasaan seorang anak hawa ini. Gadis dengan mengenakan kacamata itu duduk sekitar makam seorang bertuliskan 'Viona Azahra’. Ia memeluk nisan itu sangat erat, cairan bening di pipinya rasanya enggan berhenti.

"Mama, Viola boleh nangis sambil peluk Mama?" tanyanya sambil mengelus nisan tersebut dengan lembut.

Seperti mendapat jawaban, Viola kembali memeluk nisan tersebut, kali ini tangisnya semakin menjadi.

"Ma, kenapa jatuh cinta sesakit ini? Ma, Viola salah ya jatuh cinta?"

"Salah lah, soalnya lo suka sama cowo gue!"

Viola mendongakkan kepalanya, menatap seorang tengah berdiri di belakangnya tepat. Ia menyipitkan matanya untuk menfokuskan penglihatannya. Setelah ia melihat dengan jelas, betapa terkejutnya saat ia mendapati Icha sedang di belakangnya.

"Ngapain lo di sini?" tanya Viola sembari bangun dari tempatnya lalu menghadap Icha.

"Nemenin lo, kan sekarang circle lo udah bubar," jawabnya santai.

"Gue nggak butuh."

"Kayaknya lo dapet karma deh dari bokap lo, secara nggak langsung kan dulunya bokap lo tukang selingkuh. Ups!" Icha menutupi bibirnya dengan telapak tangannya, seakan ia kaget dengan informasi itu.

Tangan Viola mengepal dan gemetar hebat. Sudah hampir bertahun-tahun ia mencoba untuk melupakan luka hatinya, tapi dengan entengnya Icha berkata seperti itu, lebih tepatnya di depan makam Mamanya.

"Apalagi, waktu itu lo kan di buang sama Bokap lo. —Ups! Mulut gue suka keceplosan mulu." Icha memukul-mukul mulutnya pelan, lalu tertawa penuh kemenangan di hadapan Viola.

Entah mengapa tangan Viola seperti tak bisa digerakkan untuk mencakar ataupun memukul wanita gila di hadapannya ini. Matanya memerah dan air mata yang ia tahan lolos membanjiri pipinya.

"Lo nangis-nangis di depan makam Mama lo nggak ada gunanya, dia nggak bakal hidup lagi, dia udah mati!"

Plak!

Sebuah tamparan mendarat di pipi kiri Icha. Tamparan itu tidak Icha dapatkan dari Viola, melainkan dari sosok laki-laki mengenakan topi dan membawa tas perempuan di tangannya. Laki-laki itu, Valen. Dia membawa tas milik Icha.

Viola mengambil tasnya di tanah lalu pergi meninggalkan mereka berdua. Tanpa berpamitan ia pergi untuk keluar dari TPU dengan perasaan yang campur aduk. Setelah bertahun-tahun ia mencoba untuk melupakan semua kesalahan Ayahnya dan berhasil, namun hari ini luka itu kembali terbuka karena ulah mulut sialan dari seorang wanita tak memiliki perasaan.

Seorang laki-laki sedang sibuk mengetik di sebuah ponsel, senyumnya berbinar seraya memandang ponsel itu. Sesekali laki-laki itu menghisap rokok di tangannya. Namun, tiba-tiba ponsel tersebut tak lama disahut oleh seorang di sebelahnya.

"Lo chat apaan Bang?! Ini nggak sesuai kesempatan kita!" Hakam menarik ponselnya dari genggaman seorang laki-laki bernama Obam.

"Kemarin gue liat tuh cewe lagi berantem sama temen-temennya karna belain lo. Gue kasian sama dia, yaudah gue kasih tantangan buat dia, gue mau liat sejauh mana cinta dia ke lo." Jelas Obam panjang pada Hakam.

"Tapi kan—"

"Kam, 100 hari aja."

Entah ada apa dengan Obam, bukankah waktu itu dia melarang Hakam untuk jatuh cinta pada Viola, tapi mengapa hari ini dia berubah seperti ini? Hakam tidak mengerti.

"Lo kenapa?" tanya Hakam keheranan.

"Nggak tau, dari kemarin gue kepikiran terus sama tuh cewe, gue ngerasa kasian sama dia."

"Terus gue harus gimana?"

"Yaudah lo diem aja, biar dia yang ngejar. Tapi lo jangan ngehindar."

"Aneh lo!" Hakam menjauh dari sofa panjang menuju ke luar cafe untuk menghirup angin segar seraya merefresh pikirannya.

Karena Hakam sedang bosan, ia sengaja membuka galeri ponselnya untuk melihat foto-foto yang ia ambil dan akan ia unggah di sosial media. Di saat ia memilih foto apa yang akan ia unggah, sebuah album foto tiba-tiba saja membuatnya gagal fokus. Album foto itu bernamakan 'Olla' dengan emot love berwarna merah. Jari Hakam bergerak membuka folder tersebut. Di kala ia memandangi gambar Viola, senyum itu sedikit mengembang, apalagi di saat foto di atas kora-kora itu.

Tak dipungkiri jika rasa itu masih ada dalam hatinya, namun seperti ada rasa yang menghadap semuanya, entah perasaan apa itu. Ia bimbang tak tahu dengan perasaannya sendiri, mengapa saat ini semuanya menjadi serumit ini?

Add a comment

Related posts:

Between Failure and Poverty of Dreams

Idleness and laziness, entitlement, instant gratification, poverty of dreams, ultimate failure in life

The Rise of Profitable Online Gaming Platforms for UK Players

The advent of online gaming has revolutionized the entertainment industry, offering players an immersive and interactive experience. However, it’s not just fun and games anymore. With the emergence…

Ik ben een idioot.

Ik ben zo een idioot, die weleens de auto neemt om zich 5 kilometer, naar het centrum van de stad, te verplaatsen. Erger nog. Ik ben een idioot die in de koude donkere winter uren gaat fietsen, soms…